Wednesday, December 13, 2017

TAKSUB MAZHAB LIHAT APA KATA EMPAT IMAM MAZHAB

PERTAMA IMAM ABU HANIFAH
Nama sebenar Nu’man bin Tsabit
80H (660M) -150H
 (MAZHAB HANAFI)
Imam Abu Hanifah r.a berkata:
“Jika sebuah hadis terbukti sahih, maka itu adalah mazhabku (pendapatku). (1)

Imam Abu Hanifah juga berkata,
“ Tidak halal bagi seseorang mengambil pendapat kami selama dia tidak mengetahui dari mana kami mengambilnya”.(2)


KEDUA IMAM MALIK
Nama sebenar: Malik Bin Anas
(MAZHAB MALIKI)
93H – 179H
(Tempat kelahiran Zulmarwah Utara Madinah)

Imam Malik r.a berkata:
“Sesungguhnya aku adalah manusia biasa, yang bisa salah dan bisa benar. Kerana itu , lihatlah pendapatku itu setiap yang sesuai dengan kitabullah dan as-Sunnah, maka ambilah, dan setiap yang tidak sesuai dengan Kitabullah dan as-Sunnah, maka tigalkanlah.” (“3)
Imam Malik berkata:
 “Setelah Nabi s.a.w, tak seorangpun kecuali dapat di ambil pendapatnya atau di tinggalkan selian Nabi s.a.w dan dapat di tinggalkan, kecuali Nabi s.a.w.” (4)


KETIGA IMAM ASY-SYAFI’I
(Nama sebenar Mohammad  Bin Idris Bin Abbas Bin Usman Bin Syafi’i)
150H – 204H
(Tempat kelahiran Ghazzah Palestine)

Imam asy-Syafi’I r.a berkata:
“Jika kalian menemukan di dalam bukuku hal yang berseberangan dengan Sunnah Rasulullah s.a.w, maka berpendapatlah dengan Sunnah Rasulullah s.a.w dan tinggalkan lah apa yang aku kata kan.”
(Dalam sebuah riwayat disebutkan)
“Maka ikuti lah Sunnah itu dan janganlah menoleh kepada perkataan siapa pun.” (5)

Imam asy-Syafi’i r.a berkata lagi:
“Jika sebuah hadis (terbukti) sahih, maka itulah mazhabku (pendapatku)” (6)

Imam Asy-Syafi’i r.a berkata lagi:
“Setiap hadis dari Nabi s.a.w maka itu adalah pendapatku, sekalipun kalian tidak pernah mendengarnya dari ku” (7)

Imam Asy- Syafi’I r.a berkata:
“ Setiap masalah yang di situ terdapat hadis sahih dari Rasulullah s.a.w menurut ahli riwayat, yang berseberangan dengan apa yang aku katakana, maka aku rujuk dari pendapatku itu semasa hidup dan satelah matiku.” (8)


KE-EMPAT IMAM AHMAD
(Nama sebenar Ahmad Bin Muhmmad Bin Hanbal)
164H – 241H
Di lahirkan di Bagdad
Di antara para imam mazhab, Imam Ahmad adalah orang yang paling banyak menghimpun hadis dan berpegang teguh kepadanya. Bahkan ia dikenal sebagai orang yang tidak suka menulis buku-buku yang mengandungi masalah-masalah furu’ dan pendapat semata. Kerana itu:
Imam Ahmad berkata:
“Janganlah bertaklid kepadaku, kepada Imam Malik, Imam asy-Syafi’i, Imam al-Auza’i  maupun kepada immam Ats-Tsauri tetapi ambillah dari mana mereka mengambil.” (9)

Imam Ahmad juga berkata:
“Pendapat Imam al-Auza’i, Imam Malik, dan Imam Abu Hanifah, semuanya adalah pendapat, dan itu sama bagiku , Sesungguhnya hujjah ada dalam atsar (Hadis) (10)

Itulah perkataan-perkataan para Imam Mazhab terkait perintah berpegang kepada hadis dan larangan bertaklid kepada mereka tampa ilmu. Itu sangat jelas dan terang.

Berdasarkan itu, siapa yang berpegang kepada setiap as-Sunnah yang sahih , sekalipun bersebarangan dengan sebahagian pendapat mazhab para imam tersebut maka ia bukanlah berbeza dengan mereka. Justru ia mengikuti mereka semua.




Oleh: Abu Faiz Abdul Aziz

Rujukan:
AL-UMM (Imam Syafi’i),
Sifat Solat Nabi (Syeikh Mohammad Nashirudin)
Biografi Imam Mazhab Empat (Dr. Ahmad Asy-Syurbasi)
Manhaj Aqidah Imam Asy-Syafi’i (Dr. Muhammad bin A.W al-Aqil)

1.                1.   Di sebutkan oleh Ibnu Abidin dlm al-Hasyiyah (1/63)dan dlm risalahnya Rasm al-Mufti 1/4)
2.                 2.  Di sebutkan oleh Ibnu “Abdil Barr di dlm al-Intiqa fi Fadha ‘il al a’imah al’Arba’ahhal 145,                Ibn Qayyim didalam I’lam al-Muwaqqi’in 93/309)
3.      Di sebutkan oleh ibn Abdil Barr di dalam bukunya al-jami 2/32 dan Ibn Hazm juga menukil dari nya dlm Ushul al-Ahkam 6/149
4.    Menyandarkan pendapat ini kepada imam Malik adalah suatu yang popular di kalangan ulamak muta ‘akhirin mazhab Maliki Ibnu Hazm dlm Usul al-Ahkam 6/145) Taqiyudin as-Subki dil al-Fatwa (1/148). Abu Daud berkata dlm Masa il alimam Ahmad hal 276 aku mendengar Ahmad (Imam Ahmad bin Hambal)berkata’ “Tak seorangpun kecuali dapat mengambil pendapatnya atau di tinggalkan: selian Nabi s.a.w
5.    Di sebutkan oleh al-Harawi di dalam Dzamm al-Kalam 3/47/1, al-Khatib dlm al-Ihtijaj bi Syafi’I 8/1, Ibnu Asakir 15/9/1, an-Nawawi dalam al-Majmu 1/63, Ibnul Qayyim 2/361, Sahih Ibnu Hiban 3/284 dengan sanad yang sahih darinya.
6.    Di sebutkan oleh an-Nawawi dalam refensi sebelumnya(al-Majmu) asy -Sya’rani 1/57, dan dia menyandarkannya kepada al-hakim dan Al-Baihaki dan al-Fulani hal 107, As-Sya’rani berkata , Ibnu  Hazm berkata, “Yakni, sahih menurutnya atau menurut imam-imam lainnya”
 7.    Di sebutkan oleh Ibnu Abi Hatim, hal 93-94)
 8.   Disebutkan oleh Abu Nu’aim dalam  Hilyah al-Auliya 9/107al-Hawawi 47/1, Ibnu Qayyim dlm    I’Lam al-Muwaqqi’in 2/363 dan al-Fulani hal 104.
 9.    Di sebutkan oleh al-Fulani no. 113 dan Ibnul Qayyim dalam I’lam al-Muwaqi’in 2/302)
 10.  Di sebutkan oleh Ibnu Abdil Barr dalam Jami’ al-iLm wa Fadhlihi, 92/149


Penjelasan Lengkap Tentang Qunut Subuh

Penjelasan Lengkap tentang Qunut Subuh

07SEP2011
fajarMenanggapi pertanyaan Akhi Triyono yanga ada di buku tamu tentang Qunut Subuh, berikut penjelasan lengkap tentang masalah dimaksud yang disampaikan oleh Al Ustadz Abu Muhammad Dzulqarnain.
Pertanyaan :
Salah satu masalah kontraversial di tengah masyarakat adalah qunut Shubuh. Sebagian menganggapnya sebagai amalan sunnah, sebagian lain menganggapnya pekerjaan bid'ah. Bagaimanakah hukum qunut Shubuh sebenarnya ?
Jawab :
Dalam masalah ibadah, menetapkan suatu amalan bahwa itu adalah disyariatkan (wajib maupun sunnah) terbatas pada adanya dalil dari Al-Qur'an maupun As-sunnah yang shohih menjelaskannya. Kalau tidak ada dalil yang benar maka hal itu tergolong membuat perkara baru dalam agama (bid'ah), yang terlarang dalam syariat Islam sebagaimana dalam hadits Aisyah riwayat Bukhary-Muslim :
مَنْ أَحْدَثَ فِيْ أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَد ٌّ. وَ فِيْ رِوَايَةِ مُسْلِمٍ : مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمُرُنَا فَهُوَ رَدَّ
"Siapa yang mengadakan hal baru dalam perkara kami ini (dalam Agama-pent.) apa yang sebenarnya bukan dari perkara maka hal itu adalah tertolak". Dan dalam riwayat Muslim : "Siapa yang berbuat satu amalan yang tidak di atas perkara kami maka ia (amalan) adalah tertolak".
Dan ini hendaknya dijadikan sebagai kaidah pokok oleh setiap muslim dalam menilai suatu perkara yang disandarkan kepada agama.
Setelah mengetahui hal ini, kami akan berusaha menguraikan pendapat-pendapat para ulama dalam masalah ini.
Uraian Pendapat Para Ulama
Ada tiga pendapat dikalangan para ulama, tentang disyariatkan atau tidaknya qunut Shubuh.
  • Pendapat pertama : Qunut shubuh disunnahkan secara terus-menerus, ini adalah pendapat Malik, Ibnu Abi Laila, Al-Hasan bin Sholih dan Imam Syafi'iy.
  • Pendapat kedua : Qunut shubuh tidak disyariatkan karena qunut itu sudah mansukh (terhapus hukumnya). Ini pendapat Abu Hanifah, Sufyan Ats-Tsaury dan lain-lainnya dari ulama Kufah.
  • Pendapat ketiga : Qunut pada sholat shubuh tidaklah disyariatkan kecuali pada qunut nazilah maka boleh dilakukan pada sholat shubuh dan pada sholat-sholat lainnya. Ini adalah pendapat Imam Ahmad, Al-Laits bin Sa'd, Yahya bin Yahya Al-Laitsy dan ahli fiqh dari para ulama ahlul hadits.
Dalil Pendapat Pertama
Dalil yang paling kuat yang dipakai oleh para ulama yang menganggap qunut subuh itu sunnah adalah hadits berikut ini :
مَا زَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ يَقْنُتُ فِيْ صَلاَةِ الْغَدَاةِ حَتَّى فَارَقَ الدُّنْيَا
"Terus-menerus Rasulullah shollallahu 'alaihi wa a lihi wa sallam qunut pada sholat Shubuh sampai beliau meninggalkan dunia".
Dikeluarkan oleh 'Abdurrozzaq dalam Al Mushonnaf 3/110 no.4964, Ahmad 3/162, Ath-Thoh awy dalam Syarah Ma'ani Al Atsar 1/244, Ibnu Syahin dalam Nasikhul Hadits Wamansukhih no.220, Al-Ha kim dalam kitab Al-Arba'in sebagaimana dalam Nashbur Royah 2/132, Al-Baihaqy 2/201 dan dalam Ash-Shugro 1/273, Al-Baghawy dalam Syarhus Sunnah 3/123-124 no.639, Ad-Daruquthny dalam Sunannya 2/39, Al-Maqdasy dalam Al-Mukhtaroh 6/129-130 no.2127, Ibnul Jauzy dalam At-Tahqiq no.689-690 dan dalam Al-'Ilal Al-Mutanahiyah no.753 dan Al-Khatib Al-Baghdady dalam Mudhih Auwan Al Jama' wat Tafr iq 2/255 dan dalam kitab Al-Qunut sebagaimana dalam At-Tahqiq 1/463.
Semuanya dari jalan Abu Ja'far Ar-Rozy dari Ar-Robi' bin Anas dari Anas bin Malik.
Hadits ini dishohihkan oleh Muhammad bin 'Ali Al-Balkhy dan Al-Hakim sebagaimana dalam Khulashotul Badrul Munir 1/127 dan disetujui pula oleh Imam Al-Baihaqy. Namun Imam Ibnu Turkumany dalam Al-Jauhar An-Naqy berkata : "Bagaimana bisa sanadnya menjadi shohih sedang rowi yang meriwayatkannya dari Ar-Rob i' bin Anas adalah Abu Ja'far 'Isa bin Mahan Ar-Rozy mutakallamun fihi (dikritik)". Berkata Ibnu Hambal dan An-Nasa`i : "Laysa bil qowy (bukan orang yang kuat)". Berkata Abu Zur'ah : " Yahimu katsiran (Banyak salahnya)". Berkata Al-Fallas : "Sayyi`ul hifzh (Jelek hafalannya)". Dan berkata Ibnu Hibban : "Dia bercerita dari rowi-rowi yang masyhur hal-hal yang mungkar"."
Dan Ibnul Qoyyim dalam Zadul Ma'ad jilid I hal.276 setelah menukil suatu keterangan dari gurunya Ibnu Taimiyah tentang salah satu bentuk hadits mungkar yang diriwayatkan oleh Abu Ja'far Ar-Rozy, beliau berkata : "Dan yang dimaksudkan bahwa Abu Ja'far Ar-R ozy adalah orang yang memiliki hadits-hadits yang mungkar, sama sekali tidak dipakai berhujjah oleh seorang pun dari para ahli hadits periwayatan haditsnya yang ia bersendirian dengannya".
Dan bagi siapa yang membaca keterangan para ulama tentang Abu Ja'far Ar-R ozy ini, ia akan melihat bahwa kritikan terhadap Abu Ja'far ini adalah Jarh mufassar (Kritikan yang jelas menerangkan sebab lemahnya seorang rawi). Maka apa yang disimpulkan oleh Ibnu Hajar dalam Taqrib-Tahdzib sudah sangat tepat. Beliau berkata : "Shoduqun sayi`ul hifzh khususon 'anil Mughiroh (Jujur tapi jelek hafalannya, terlebih lagi riwayatnya dari Mughirah).
Maka Abu Ja'far ini lemah haditsnya dan hadits qunut subuh yang ia riwayatkan ini adalah hadits yang lemah bahkan hadits yang mungkar.
Dihukuminya hadits ini sebagai hadits yang mungkar karena 2 sebab :
Satu : Makna yang ditunjukkan oleh hadits ini bertentangan dengan hadits shohih yang menunjukkan bahwa Nabi shollallahu 'alaihi wa alihi wa sallam tidak melakukan qunut kecuali qunut nazilah, sebagaimana dalam hadits Anas bin Malik :
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ كَانَ لاَ يَقْنُتُ إِلاَّ إِذَا دَعَا لِقَوْمٍ أَوْ عَلَى قَوْمٍ
"Sesungguhnya Nabi shollallahu 'alaihi wa a lihi wa sallam tidak melakukan qunut kecuali bila beliau berdo'a untuk (kebaikan) suatu kaum atau berdo'a (kejelekan atas suatu kaum)" . Dikeluarkan oleh Ibnu Khuzaimah 1/314 no. 620 dan dan Ibnul Jauzi dalam At-Tahqiq 1/460 dan dishahihkan oleh Syeikh Al-Albani dalam Ash-Shahihah no. 639.
Kedua : Adanya perbedaan lafazh dalam riwayat Abu Ja'far Ar-Rozy ini sehingga menyebabkan adanya perbedaan dalam memetik hukum dari perbedaan lafazh tersebut dan menunjukkan lemahnya dan tidak tetapnya ia dalam periwayatan. Kadang ia meriwayatkan dengan lafazh yang disebut di atas dan kadang meriwayatkan dengan lafazh :
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ قَنَتَ فٍي الْفَجْرِ
"Sesungguhnya Nabi shollahu 'alahi wa alihi wa sallam qunut pada shalat Subuh".
Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam Al Mushonnaf 2/104 no.7003 (cet. Darut Taj) dan disebutkan pula oleh imam Al Maqdasy dalam Al Mukhtarah 6/129.
Kemudian sebagian para 'ulama syafi'iyah menyebutkan bahwa hadits ini mempunyai beberapa jalan-jalan lain yang menguatkannya, maka mari kita melihat jalan-jalan tersebut :
Jalan Pertama : Dari jalan Al-Hasan Al-Bashry dari Anas bin Malik, beliau berkata :
قَنَتَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى الله ُعَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ وَأَبُوْ بَكْرٍ وَعُمْرَ وَعُثْمَانَ وَأَحْسِبُهُ وَرَابِعٌ حَتَّى فَارَقْتُهُمْ
"Rasulullah Shollallahu 'alaihi wa alihi wa Sallam, Abu Bakar, 'Umar dan 'Utsman, dan saya (rawi) menyangka "dan keempat" sampai saya berpisah denga mereka".
Hadits ini diriwayatkan dari Al Hasan oleh dua orang rawi :
Pertama : 'Amru bin 'Ubaid. Dikeluarkan oleh Ath-Thohawy dalam Syarah Ma'ani Al Atsar 1/243, Ad-Daraquthny 2/40, Al Baihaqy 2/202, Al Khatib dalam Al Qunut dan dari jalannya Ibnul Jauzy meriwayatkannya dalam At-Tahqiq no.693 dan Adz-Dzahaby dalam Tadzkiroh Al Huffazh 2/494. Dan 'Amru bin 'Ubaid ini adalah gembong kelompok sesat Mu'tazilah dan dalam periwayatan hadits ia dianggap sebagai rawi yang matrukul hadits (ditinggalkan haditsnya).
Kedua : Isma'il bin Muslim Al Makky, dikeluarkan oleh Ad-Da raquthny dan Al Baihaqy. Dan Isma'il ini dianggap matrukul hadits oleh banyak orang imam. Baca : Tahdzibut Tahdzib.
Catatan :
Berkata Al Hasan bin Sufyan dalam Musnadnya : Menceritakan kepada kami Ja'far bin Mihr on, (ia berkata) menceritakan kepada kami 'Abdul Warits bin Sa'id, (ia berkata) menceritakan kepada kami Auf dari Al Hasan dari Anas beliau berkata :
صَلَّيْتُ مَعَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ فَلَمْ يَزَلْ يَقْنُتُ فِيْ صَلاَةِ الْغَدَاةِ حَتَّى فَارَقْتُهُ
"Saya sholat bersama Rasulullah Shollallahu 'alaihi wa alihi wa Sallam maka beliau terus-menerus qunut pada sholat Subuh sampai saya berpisah dengan beliau".
Riwayat ini merupakan kekeliruan dari Ja'far bin Mihron sebagaimana yang dikatakan oleh imam Adz-Dzahaby dalam Mizanul I'tidal 1/418. Karena 'Abdul Warits tidak meriwayatkan dari Auf tapi dari 'Amru bin 'Ubeid sebagaiman dalam riwayat Abu 'Umar Al Haudhy dan Abu Ma'mar – dan beliau ini adalah orang yang paling kuat riwayatnya dari 'Abdul Warits-.
Jalan kedua : Dari jalan Khalid bin Da'laj dari Qotadah dari Anas bin M alik :
صَلَّيْتُ خَلْفَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ وَخَلْفَ عُمَرَ فَقَنَتَ وَخَلْفَ عُثْمَانَ فَقَنَتَ
"Saya sholat di belakang Rasulullah shollallahu 'alaihi wa alihi wa sallam lalu beliau qunut, dan dibelakang 'umar lalu beliau qunut dan di belakang 'Utsman lalu beliau qunut".
Dikeluarkan oleh Al Baihaqy 2/202 dan Ibnu Syahin dalam Nasikhul Hadi ts wa Mansukhih no.219. Hadits di atas disebutkan oleh Al Baihaqy sebagai pendukung untuk hadits Abu Ja'far Ar-Rozy tapi Ibnu Turkumany dalam Al Jauhar An Naqy menyalahkan hal tersebut, beliau berkata : "Butuh dilihat keadaan Khalid apakah bisa dipakai sebagai syahid (pendukung) atau tidak, karena Ibnu Hambal, Ibnu Ma'in dan Ad-Daruquthny melemahkannya dan Ibnu Ma' in berkata di (kesempatan lain) : laisa bi syay`in (tidak dianggap) dan An-Nasa`i berkata : laisa bi tsiqoh (bukan tsiqoh). Dan tidak seorangpun dari pengarang Kutubus Sittah yang mengeluarkan haditsnya. Dan dalam Al-Mizan, Ad Daraquthny mengkategorikannya dalam rowi-rowi yang matruk.
Kemudian yang aneh, di dalam hadits Anas yang lalu, perkataannya "Terus-menerus beliau qunut pada sholat Subuh hingga beliau meninggalkan dunia", itu tidak terdapat dalam hadits Khal id. Yang ada hanyalah "beliau (nabi) 'alaihis Salam qunut", dan ini adalah perkara yang ma'ruf (dikenal). Dan yang aneh hanyalah terus-menerus melakukannya sampai meninggal dunia. Maka di atas anggapan dia cocok sebagai pendukung, bagaimana haditsnya bisa dijadikan sebagai syahid (pendukung)".
Jalan ketiga : Dari jalan Ahmad bin Muhammad dari Dinar bin 'Abdillah dari Anas bin Malik :
مَا زَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ يَقْنُتُ فِيْ صَلاَةِ الْصُبْحِ حَتَّى مَاتَ
"Terus-menerus Rasulullah Shollallahu 'alaihi wa a lihi wa Sallam qunut pada sholat Subuh sampai beliau meninggal".
Dikeluarkan oleh Al Khatib dalam Al Qunut dan dari jalannya, Ibnul Jauzy dalam At-Tahq iq no. 695.
Ahmad bin Muhammad yang diberi gelar dengan nama Ghulam Khalil adalah salah seorang pemalsu hadits yang terkenal. Dan Dinar bin 'Abdillah, kata Ibnu 'Ady : "Mungkarul hadits (Mungkar haditsnya)". Dan berkata Ibnu Hibba n : "Ia meriwayatkan dari Anas bin Malik perkara-perkara palsu, tidak halal dia disebut di dalam kitab kecuali untuk mencelanya".
Kesimpulan pendapat pertama:
Jelaslah dari uraian diatas bahwa seluruh dalil-dalil yang dipakai oleh pendapat pertama adalah hadits yang lemah dan tidak bisa dikuatkan.
Kemudian anggaplah dalil mereka itu shohih bisa dipakai berhujjah, juga tidak bisa dijadikan dalil akan disunnahkannya qunut subuh secara terus-menerus, sebab qunut itu secara bahasa mempunyai banyak pengertian. Ada lebih dari 10 makna sebagaimana yang dinukil oleh Al-Hafidh Ibnu Hajar dari Al-Iraqi dan Ibnul Arabi.
1) Doa
2) Khusyu'
3) Ibadah
4) Taat
5) Menjalankan ketaatan.
6) Penetapan ibadah kepada Allah
7) Diam
8) Shalat
9) Berdiri
10) Lamanya berdiri
11) Terus menerus dalam ketaatan
Dan ada makna-makna yang lain yang dapat dilihat dalam Tafsir Al-Qurthubi 2/1022, Mufradat Al-Qur'an karya Al-Ashbahany hal. 428 dan lain-lain.
Maka jelaslah lemahnya dalil orang yang menganggap qunut subuh terus-menerus itu sunnah.
Dalil Pendapat Kedua
Mereka berdalilkan dengan hadits Abu Hurairah riwayat Bukhary-Muslim :
كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ حِيْنَ يَفْرَغُ مِنْ صَلاَةِ الفَجْرِ مِنَ الْقِرَاءَةِ وَيُكَبِّرُ وَيَرْفَعُ رَأْسَهُ سَمِعَ اللهُ لِمَنْ حَمِدَهُ رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ ثُمَّ يَقُوْلُ وَهُوَ قَائِمٌ اَللَّهُمَّ أَنْجِ اَلْوَلِيْدَ بْنَ الْوَلِيْدِ وَسَلَمَةَ بْنَ هِشَامٍ وَعَيَّاشَ بْنَ أَبِيْ رَبِيْعَةَ وَالْمُسْتَضْعَفِيْنَ مِنَ الْمُُؤْمِنِيْنَ اَللَّهُمَّ اشْدُدْ وَطْأَتَكَ عَلَى مُضَرَ وَاجْعَلْهَا عَلَيْهِمْ كَسِنِيْ يُوْسُفَ اَللَّهُمَّ الْعَنْ لِحْيَانَ وَرِعْلاً وَذَكْوَانَ وَعُصَيَّةَ عَصَتِ اللهَ وَرَسُوْلَهُ ثُمَّ بَلَغَنَا أَنَهُ تَرَكَ ذَلِكَ لَمَّا أَنْزَلَ : (( لَيْسَ لَكَ مِنَ الأَمْرِ شَيْءٌ أَوْ يَتُوْبَ عَلَيْهِمْ أَوْ يُعَذِّبَهُمْ فَإِنَّهُمْ ظَالِمُوْنَ ))
"Adalah Rasulullah shollallahu 'alaihi wa alihi wa sallam ketika selesai membaca (surat dari rakaat kedua) di shalat Fajr dan kemudian bertakbir dan mengangkat kepalanya (I'tidal) berkata : "Sami'allahu liman hamidah rabbana walakal hamdu, lalu beliau berdoa dalaam keadaan berdiri. "Ya Allah selamatkanlah Al-Walid bin Al-Walid, Salamah bin Hisyam, 'Ayyasy bin Abi Rabi'ah dan orang-orang yang lemah dari kaum mu`minin. Ya Allah keraskanlah pijakan-Mu (adzab-Mu) atas kabilah Mudhar dan jadianlah atas mereka tahun-tahun (kelaparan) seperti tahun-tahun (kelaparan yang pernah terjadi pada masa) Nabi Yusuf. Wahai Allah, laknatlah kabilah Lihyan, Ri'lu, Dzakw an dan 'Ashiyah yang bermaksiat kepada Allah dan Rasul-Nya. Kemudian sampai kepada kami bahwa beliau meningalkannya tatkala telah turun ayat : "Tak ada sedikitpun campur tanganmu dalam urusan mereka itu atau Allah menerima taubat mereka, atau mengazab mereka, karena sesungguhnya mereka itu orang-orang yang zalim". (HSR.Bukhary-Muslim)
Berdalilkan dengan hadits ini menganggap mansukh-nya qunut adalah pendalilan yang lemah karena dua hal :
Pertama : ayat tersebut tidaklah menunjukkan mansukh-nya qunut sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Al-Qurthuby dalam tafsirnya, sebab ayat tersebut hanyalah menunjukkan peringatan dari Allah bahwa segala perkara itu kembali kepada-Nya. Dialah yang menentukannya dan hanya Dialah yang mengetahui perkara yang ghoib.
Kedua : Diriwayatkan oleh Bukhary – Muslim dari Abu Hurairah, beliau berkata :
وَاللهِ لَأَقْرَبَنَّ بِكُمْ صَلاَةَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ فَكَانَ أَبُوْ هُرَيْرَةَ يَقْنُتُ فِي الظُّهْرِ وَالْعِشَاءِ الْآخِرَةِ وَصَلاَةِ الْصُبْحِ وَيَدْعُوْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَيَلْعَنُ الْكُفَّارَ.
Dari Abi Hurairah radliyallahu `anhu beliau berkata : "Demi Allah, sungguh saya akan mendekatkan untuk kalian cara shalat Rasulullah shallallahu `alaihi wa alihi wa sallam. Maka Abu Hurairah melakukan qunut pada shalat Dhuhur, Isya' dan Shubuh. Beliau mendoakan kebaikan untuk kaum mukminin dan memintakan laknat untuk orang-orang kafir".
Ini menunjukkan bahwa qunut nazilah belum mansu kh. Andaikata qunut nazilah telah mansukh tentunya Abu Hurairah tidak akan mencontohkan cara sholat Nabi shallallahu `alaihi wa alihi wa sallam dengan qunut nazilah .
Dalil Pendapat Ketiga
Satu : Hadits Sa'ad bin Thoriq bin Asyam Al-Asyja'i
قُلْتُ لأَبِيْ : "يَا أَبَتِ إِنَّكَ صَلَّيْتَ خَلْفَ رَسُوْلُ الله صلى الله عليه وآله وسلم وَأَبِيْ بَكْرٍ وَعُمَرَ وَعُثْمَانَ وَعَلِيَ رَضِيَ الله عَنْهُمْ هَهُنَا وَبِالْكُوْفَةِ خَمْسَ سِنِيْنَ فَكَانُوْا بَقْنُتُوْنَ فيِ الفَجْرِ" فَقَالَ : "أَيْ بَنِيْ مُحْدَثٌ".
"Saya bertanya kepada ayahku : "Wahai ayahku, engkau sholat di belakang Rasulullah shallallahu `alaihi wa alihi wa sallam dan di belakang Abu Bakar, 'Umar, 'Utsman dan 'Ali radhiyallahu 'anhum di sini dan di Kufah selama 5 tahun, apakah mereka melakukan qunut pada sholat subuh ?". Maka dia menjawab : "Wahai anakku hal tersebut (qunut subuh) adalah perkara baru (bid'ah)". Dikeluarkan oleh Tirmidzy no. 402, An-Nasa`i no.1080 dan dalam Al-Kubro no.667, Ibnu Majah no.1242, Ahmad 3/472 dan 6/394, Ath-Thoy alisy no.1328, Ibnu Abi Syaibah dalam Al Mushonnaf 2/101 no.6961, Ath-Thohawy 1/249, Ath-Thobarany 8/no.8177-8179, Ibnu Hibban sebagaimana dalam Al-Ihs an no.1989, Baihaqy 2/213, Al-Maqdasy dalam Al-Mukhtarah 8/97-98, Ibnul Jauzy dalam At-Tahqiq no.677-678 dan Al-Mizzy dalam Tahdzibul Kam al dan dishohihkan oleh syeikh Al-Albany dalam Irwa`ul Gholil no.435 dan syeikh Muqbil dalam Ash-Shohih Al-Musnad mimma laisa fi Ash-Shoh ihain.
Dua : Hadits Ibnu 'Umar
عَنْ أَبِيْ مِجْلَزِ قَالَ : "صَلَّيْتُ مَعَ اِبْنِ عُمَرَ صَلاَةَ الصُّبْحِ فَلَمْ يَقْنُتْ". فَقُلْتُ : "آلكِبَرُ يَمْنَعُكَ", قَالَ : "مَا أَحْفَظُهُ عَنْ أَحَدٍ مِنْ أَصْحَابِيْ".
" Dari Abu Mijlaz beliau berkata : saya sholat bersama Ibnu 'Umar sholat shubuh lalu beliau tidak qunut. Maka saya berkata : apakah lanjut usia yang menahanmu (tidak melakukannya). Beliau berkata : saya tidak menghafal hal tersebut dari para shahabatku". Dikeluarkan oleh Ath-Thohawy 1246, Al-Baihaqy 2213 dan Ath-Thabarany sebagaimana dalam Majma' Az-Zawa'id 2137 dan Al-Haitsamy berkata :"rawi-rawinya tsiqoh".
Ketiga : tidak ada dalil yang shohih menunjukkan disyari'atkannya mengkhususkan qunut pada sholat shubuh secara terus-menerus.
Keempat : qunut shubuh secara terus-menerus tidak dikenal dikalangan para shahabat sebagaimana dikatakan oleh Ibnu 'Umar diatas, bahkan syaikul islam Ibnu Taimiyah dalam Majmu' Al-Fatawa berkata : "dan demikian pula selain Ibnu 'Umar dari para shahabat, mereka menghitung hal tersebut dari perkara-perkara baru yang bid'ah".
Kelima : nukilan-nukilan orang-orang yang berpendapat disyari'atkannya qunut shubuh dari beberapa orang shahabat bahwa mereka melakukan qunut, nukilan-nukilan tersebut terbagi dua :
  1. Ada yang shohih tapi tidak ada pendalilan dari nukilan-nukilan tersebut.
  2. Sangat jelas menunjukkan mereka melakukan qunut shubuh tapi nukilan tersebut adalah lemah tidak bisa dipakai berhujjah.
Keenam: setelah mengetahui apa yang disebutkan diatas maka sangatlah mustahil mengatakan bahwa disyari'atkannya qunut shubuh secara terus-menerus dengan membaca do'a qunut "Allahummahdinaa fi man hadait…….sampai akhir do'a kemudian diaminkan oleh para ma'mum, andaikan hal tersebut dilakukan secara terus menerus tentunya akan dinukil oleh para shahabat dengan nukilan yang pasti dan sangat banyak sebagaimana halnya masalah sholat karena ini adalah ibadah yang kalau dilakukan secara terus menerus maka akan dinukil oleh banyak para shahabat. Tapi kenyataannya hanya dinukil dalam hadits yang lemah.
Demikian keterangan Imam Ibnul qoyyim Al-Jauziyah dalam Z adul Ma'ad.
Kesimpulan
Jelaslah dari uraian di atas lemahnya dua pendapat pertama dan kuatnya dalil pendapat ketiga sehinga memberikan kesimpulan pasti bahwa qunut shubuh secara terus-menerus selain qunut nazilah adalah bid'ah tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah dan para shahabatnya. Wallahu a'lam.
Silahkan lihat permasalahan ini dalam Tafsir Al Qurthuby 4/200-201, Al Mughny 2/575-576, Al-Inshof 2/173, Syarh Ma'any Al-Atsar 1/241-254, Al-Ifshoh 1/323, Al-Majmu' 3/483-485, Hasyiyah Ar-Raud Al Murbi' : 2/197-198, Nailul Author 2/155-158 (Cet. Darul Kalim Ath Thoyyib), Majm u' Al Fatawa 22/104-111 dan Zadul Ma'ad 1/271-285.
www.an-nashihah.com
Jika Imam Qunut Subuh Apakah Makmum Harus Ikut Qunut? Kapankah Makmum Harus Sesuai Imam dan Kapankah Boleh berbeda?
Ada beberapa pertanyaan yang mengganjal, terutama terkait kondisi mengikuti imam dalam sholat.
1. Bagaimana bila kita tahu dari kebiasaannya selama ini imam duduk tawarruk, apakah kita juga duduk tawarruk tatkala raka’at terakhir sholat subuh?
2. juga, bagaimana bila kita tidak tahu kebiasaan duduk imam (misalnya karena kita ada di masjid lain)?
3. bila kita ada di shaf pertama dan ada persis di sekitar belakang imam, apakah boleh kita melihat sejenak ke arah imam untuk melihat bagaimana ia duduk? atau, sebaliknya, bagaimana kalau kita ada di shaf kedua, ketiga, dst. tapi benar-2 tdk tahu kebiasaan duduk imam?
Jawab :
Pertanyaan seperti ini sama dengan pertanyaan-pertanyaan berikut ini:
  • Apakah jika imam menggerak-gerakan jarinya tatkala tasyahhud maka makmum juga harus ikut menggerak-gerakan jarinya, padahal sang makmum tidak meyakini akan sunnahnya menggerak-gerakan jari tatkala tasyahhud? Dan jika sebaliknya?
  • Apakah jika imam mengangkat kedua tangan tatkala hendak sujud maka makmum juga harus mengangkat kedua tangannya (padahal sang makmum tidak meyakini disunnahkannya hal tersebut)? Dan jika sebaliknya?
  • Apakah jika imam hendak sujud dengan meletakkan kedua lututnya terlebih dahulu sebelum kedua tangannya apakah makmum juga harus demikian?, sementara makmum meyakini didahulukannya kedua tangan sebelum kedua lutut?, dan jika sebaliknya?
  • Apakah jika imam melakukan duduk istirahat -tatkala hendak berdiri ke rakaat ke dua atau ke rakaat ke empat- maka makmum juga harus duduk istirahat (padahal sang makmum tidak meyakini adanya duduk istirahat)?, dan jika sebaliknya?
  • Apakah jika imam qunut subuh maka sang makmum juga harus qunut subuh? (padahal sang makmum meyakini tidak disyari’atkannya qunut subuh)
  • Untuk menjawab pertanyaan tersebut maka kita harus paham apa saja perkara-perkara yang sang makmum harus mengikuti imam dan tidak boleh menyelisihinya?
Para pembaca yang budiman, nash yang berkaitan dengan permasalahan ini adalah sabda Nabi
إنما جُعِلَ الْإِمَامُ لِيُؤْتَمَّ بِهِ فإذا صلى قَائِمًا فَصَلُّوا قِيَامًا فإذا رَكَعَ فَارْكَعُوا وإذا رَفَعَ فَارْفَعُوا وإذا قال سمع الله لِمَنْ حَمِدَهُ فَقُولُوا رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ وإذا صلى قَائِمًا فَصَلُّوا قِيَامًا وإذا صلى جَالِسًا فَصَلُّوا جُلُوسًا أَجْمَعُونَ
“Hanyalah dijadikan imam adalah untuk diikuti, maka jika imam sholat berdiri maka sholatlah kalian (wahai para mekmum-pent) berdiri juga, jika imam ruku’ maka ruku’lah kalian, dan jika imam bangkit maka bangkitlah, dan jika imam berkata “Sami’allahu liman hamidahu” ucapkanlah “Robbanaa wa lakalhamdu”. Jika imam sholat berdiri maka sholatlah berdiri, dan jika imam sholat duduk maka sholatlah kalian seluruhnya dengan duduk” (HR Al-Bukhari no 657)
Rasulullah juga bersabda:
إنما جُعِلَ الْإِمَامُ لِيُؤْتَمَّ بِهِ فلا تَخْتَلِفُوا عليه فإذا رَكَعَ فَارْكَعُوا …
“Hanyalah dijadikan imam untuk diikuti, maka janganlah kalian menyelisihinya, jika ia ruku’ maka ruku’lah kalian…” (HR Al-Bukhari no 689)
Ibnu Hajar berkata, “Dan kondisi pengikut (makmum) adalah tidak mendahului orang yang diikutinya (imam), dan juga tidak menyertainya, dan juga tidak berdiri lebih maju di hadapannya, akan tetapi ia memperhatikan gerakan dan kondisi sang imam lalu ia segera menyusul sebagaimana gerakan sang imam”  (Fathul Baari 2/178)
Berkata An-Nawawi : “Hadits ini dalil akan wajibnya makmum untuk mengikuti imam dalam takbir, berdiri, duduk, ruku’, sujud, dan hendaknya ia melakukannya setelah imam. Maka ia bertakbirotul ihroom setelah imam selesai bertakbirotul ihrom. Jika bertakbirotul ihrom sebelum imam bertakbirotul ihrom maka tidak sah sholatnya. Ia ruku’ setelah imam mulai ruku’ dan sebelum imam berdiri dari ruku’. Jika ia menyertai imam (dalam ruku’-pent) atau mendahului imam maka ia telah berbuat keburukan akan tetapi sholatnya tidak batal. Demikian juga sujud. Dan ia member salam setelah imam selesai salam, jika ia salam sebelum imam salam maka sholatnya batal, kecuali jika ia berniat untuk memisahkan diri dari jama’ah sholat. Dan ada khilaf dalam permasalahan ini…” (Al-Minhaaj 4/131)
An-Nawawi juga berkata, “Adapun sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam Hanyalah dijadikan imam untuk diikuti maka maknanya menurut Imam As-Syafi’i dan sekelompok ulama yaitu (diikuti) pada perbuatan-perbuatan (gerakan-gerakan) yang dzohir (nampak), karena boleh saja seseorang yang sholat fardu bermakmum kepada orang yang sholat sunnah dan sebaliknya, demikian juga seorang yang sholat asar bermakmum kepada orang yang sholat dzuhur dan sebaliknya.
Malik dan Abu Hanifah radhiallahu ‘anhumaa dan para ulama yang lain berkata bahwasanya hal ini tidak diperbolehkan. Mereka berkata bahwasanya makna hadits adalah imam diikuti pada gerakan-gerakan dan juga pada niat (jadi niat harus sama antara imam dan makmum-pent). As-Syafii –radhiallahu ‘anhu- dan para ulama yang sepakat dengannya berdalil dengan bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengimami (dua kelompok dari) para sahabat di Batn Nakhl tatkala sholat khouf dua kali, sekali bersama kelompok pertama dan yang kdua bersama kelompok yang kedua. Maka sholat beliau yang kedua adalah sunnah adapun (para sahabat dari kelompok yang kedua) yang bermakmum di belakang Nabi sholat mereka adalah fardhu. Demikian juga hadits Mu’adz tatkala beliau setelah sholat isya bersama Nabi maka beliaupun setelah itu mendatangi kaum beliau lalu mengimami mereka, maka sholat tersebut sunnah di sisi Mu’adz dan wajib di sisi kaumnya.
Hal ini menunjukan bahwa mengikuti imam hanya wajib pada perbuatan-perbuatan (gerakan-gerakan) yang dzohir (Al-Minhaaj 4/134)
Al-Hafidz Ibnu Hajar menjelaskan bahwa yang lebih menguatkan pendapat Imam An-Nawawi ini (madzhab As-Syafi’i) bahwasanya kewajiban mengikuti imam yang pada gerakan-gerakan yang dzhohir karena yang disebutkan oleh Nabi dalam hadits adalah ruku’, takbir, bangkit dari ruku’ dan semacamnya, adapun niat maka tidak disebutkan dalam hadits (lihat Fathul Baari 2/178)
Dari penjelasan di atas jelaslah bahwa makmum hanya wajib mengikuti gerakan-gerakan dzohir sang imam, jika sang imam bertakbir maka ia bertakbir pula, jika imam rukuk maka ia segera ruku’ juga dan demikian juga jika imam duduk atau berdiri. Hal ini dimaksudkan agar makmum tidak mendahului imam atau terlambat mengikuti imam.
Adapun gerakan-gerakan yang tidak mengakibatkan penyelisihan terhadap imam berupa mendahului atau keterlambatan maka tidak wajib bagi makmum untuk mengikuti imam.
Sebagai contoh jika sang imam tatkala duduk tasyahhud sholat subuh dengan tawarruk sedangkan sang makmum meyakini sunnahnya duduk iftirosy maka tidak wajib bagi sang makmum untuk meniru cara duduk sang imam. Karena hal ini sama sekali tidak berkaitan dengan penyelisihan berupa mendahului atau keterlambatan.
Demikian juga jika ternyata sang imam tidak menggerak-gerakan jarinya sementara sang makmum meyakini sunnahnya menggerak-gerakan jari tatkala tasyahhud maka tidak wajib bagi sang makmum untuk mengikuti sang imam.
Syaikh Al-’Utsaimiin berkata, “Adapun perkara yang mengantarkan kepada penyelisihan imam maka imam harus diikuti (tidak boleh diselisihi-pent), adapun perkara yang tidak menyelisihi imam –seperti mengangkat kedua tangan tatkala hendak ruku’ jika ternyata sang imam tidak mengangkat kedua tangannya sedangkan makmum memandang disyari’atkannya mengangkat kedua tangan- maka tidak mengapa bagi makmum untuk mengangkat kedua tangannya. Karena hal ini tidak mengakibatkan penyelisihan terhadap imam atau keterlambatan (dalam mengikuti imam).
Demikian juga halnya dalam masalah duduk, jika imam tidak duduk tawarruk sedangkan sang makmum memandang disyari’atkannya duduk tawarruk atau sebaliknya maka sang makmum tidak mengikuti sang imam, karena sang makmum tidak menyelisihi sang imam dan juga tidak terlambat (dalam mengikuti sang imam). (Majmuu’ Fataawaa wa rosaail As-Syaikh Al-’Utsaimiin15/79)
Bagaimana jika sang imam tidak duduk istirahat?
Jika sang imam tidak duduk istirahat tatkala bangkit ke rakaat ke dua atau ke rakaat ke empat, sedangkan makmum memandang disyari’atkannya hal ini, maka apakah makmum tetap boleh duduk istirahat menyelisihi imam? Dan bagaimana jika perkaranya sebaliknya?
Syaikh Al-’Utsaimiin rahimahullah berkata, “Adapun jika (penyelisihan gerakan-pent) mengakibatkan keterlambatan makmum –misalnya makmum memandang disyari’atkannya duduk istirahat sementara sang imam tidak- maka makmum tidak duduk istirahat. Karena jika sang makmum duduk istirahat maka ia akan terlambat dari imam, padahal Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintah kita untuk bersegera dalam mengikuti imam, beliau bersabda, “Jika imam bertakbir maka bertakbirlah kalian, dan jika imam ruku maka ruku’lah…”. Demikian juga jika perkaranya sebaliknya. Jika imam memandang disyari’atkannya duduk istirahat sementara sang makmum tidak, maka jika imam duduk istirahat  hendaknya sang makmum juga duduk meskipun sang makmum tidak memandang disyari’atkannya duduk istirahat, namun demi mengikuti imam. Inilah kaidah dalam mengikuti imam, yaitu makmum tidak melakukan hal yang menyebabkan penyelisihan atau keterlambatan” (Majmuu’ Fataawaa wa rosaail As-Syaikh Al-’Utsaimiin15/79)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata, “Telah valid bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam duduk istirahat, akan tetapi para ulama berselisih antara apakah Nabi melakukannya karena beliau sudah tua sehingga butuh untuk duduk istirahat?, ataukah Nabi melakukannya karena duduk istirahat merupakan sunnah dalam sholat?. Barangsiapa yang berpendapat dengan kemungkinan kedua maka menganggap duduk istirahat hukumnya mustahab sebagaimana pendapat As-Syafi’i dan salah satu riwayat dari Ahmad. Dan barangsiapa yang berpendapat dengan kemungkinan pertama maka tidak menganggap mutahabnya duduk istirahat kecuali jika memerlukannya sebagaimana pendapat Abu Hanifah, Malik, dan salah satu riwayat dari Ahmad.
Barangsiapa yang melakukan duduk istirahat maka tidak boleh diingkari meskipun posisinya sebagai makmum (sementara imam tidak melakukannya-pent) karena keterlambatannya mengikuti (imam yang tidak duduk istirahat) hanya sedikit dan tidak termasuk keterlambatan yang dilarang –menurut mereka yang berpendapat akan mustahabnya duduk istirahat-. Bukankah ini perbuatan yang merupakan perkara ijtihad? Karena sesungguhnya telah bertentangan antara melakukan sunnah ini –yaitu menurutnya- dengan bersegera mengikuti imam?, sesungguhnya mengikuti imam lebih utama daripada terlamabat. Akan tetapi keterlambatan tersebut hanya sedikit, maka perkaranya seperti jika imam berdiri dari tasyahhud awal sebelum makmum menyelesaikan (bacaan) tasyahhud awal padahal makmum memandang mustahabnya menyempurnakan bacaan tasyahhud awal (sehingga akhirnya sang makmum terlambat beridiri-pent). Atau seperti jika imam salam padahal sang makmum masih ingin berdoa sedikit lagi, apakah sang makmum segera salam ataukah menyempurnakan dahulu doanya?. Permasalahan-permasalahan seperti ini termasuk permasalahan ijtihad, dan yang paling kuat adalah bersegera mengikuti imam lebih utama dari pada terlambat karena melakukan perkara yang mustahab. Wallahu A’lam (Majmuu’ Al-Fataawaa 22/452-453).
Bagaimana jika sang imam qunut subuh?
Ibnu Taimiyyah berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata إِنَّمَا جُعِلَ الإِمَامُ لِيُؤْتَمَّ بِهِ “Hanyalah dijadikan imam untuk diikuti” dan juga bersabda لاَ تَخْتَلِفُوْا عَلَى أَئِمَّتِكُمْ  “Janganlah kalian menyelisihi imam-imam kalian”, dan telah valid juga dalam shahih bahwasanya beliau bersabda يُصَلُّوْنَ لَكُمْ فَإِنْ أَصَابُوْا فَلَكُمْ وَلَهُمْ، وَإِنْ أَخْطَأُوْا فَلَكُمْ، وَعَلَيْهِمْ  “Mereka (para imam) sholat bagi kalian, jika mereka benar maka pahalanya buat kalian dan buat mereka, dan jika mereka salah maka pahalanya bagi kalian dan kesalahan bagi mereka. Bukankah jika imam membaca surat setelah membaca Al-Fatihah pada dua rakaat yang terakhir dan memanjangkan bacaan surat tersebut maka wajib bagi makmum untuk mengikutinya (menunggunya-pent)?. Adapun mendahului imam maka hal ini tidak diperbolehkan, maka jika imam qunut maka tidak boleh makmum mendahuluinya, akan tetapi harus mengikuti imam. Oleh karenanya Abdullah bin Mas’uud mengingkari Utsman karena sholat empat rakaat (tatkala safar-pent) akan tetapi beliau sholat empat rakaat diimami oleh Utsman. Maka dikatakan kepada beliau kenapa beliau berbuat demikian, maka beliau berkata الخِلاَفُ شَرٌّ Perselisihan itu buruk” (Al-Fataawa Al-Kubro 1/229)
Beliau juga berkata, “Wajib bagi makmum untuk mengikuti imam pada perkara-perkara yang diperbolehkan ijtihad msekipun sang makmum tidak sependapat. Sebagaimana jika imam qunut subuh atau menambah jumlah takbir tatkala sholat janazah hingga tujuh kali. Akan tetapi jika sang imam meninggalkan satu perkara yang perkara tersebut menurut makmum adalah rukun atau syarat sholat maka ada khilaf (apakah makmum tetap mengikuti imam atau tidak?-pent)” (Jaami’ul Masaail 5/388)
Syaikh Ibnu ‘Utsaimin berkata, “Lihatlah para Imam (kaum muslimin) yang benar-benar memahami nilai persatuan. Imam Ahmad rahimahullah berpendapat qunut shalat Subuh adalah bid’ah. Meskipun demikian beliau berkata, “Jika engkau shalat di belakang Imam yang qunut maka ikutilah qunutnya, dan aminkanlah doa imam tersebut.” Semua ini demi persatuan barisan dan hati, serta agar tidak timbul kebencian antara sebagian kita terhadap sebagian yang lain.” (Asy-Syarhul Mumti’ ‘ala Zaadil Mustaqni’ 4/86)
Kota Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, 09 Dzul Qo’dah 1431 H / 17 Oktober 2010 M
Abu Abdil Muhsin Firanda Andirja
Artikel: www.firanda.com

Sumber asal: https://www.alquran-sunnah.com/artikel/kategori/fiqh/606-penjelasan-lengkap-tentang-qunut-subuh.html

Sunday, October 22, 2017

ADAKAH DALAM HAL IBADAH MENGIKUT GOLONGAN YANG "RAMAI" ITU BENAR?

Kebanyakan dari Orang kita dalam Hal Ibadah......mereka menyangka "Majoriti" buat begitu itu lah yang "BETUL"

Kenapa pilihan mereka begitu ???? Jawapan nya ikut Hukum Akal kalau kebanyakan org Buat gitu termasuklah Pak2 Ustaz...dan Orang sekelilinga buat bende begitu maka ikut logik AKAL itu lah yang "BETUL"
ITU IUKT LOGIK AKAL DAN LUMRAH MANUSIA FIKIR BEGITU....

 Mari kita lihat Apa Allah kata dalam Al Quraan👇
 Jika kita mencari kalimat  “Kebanyakan manusia” dalam Al-Qur’an, maka akan kita temukan ayat yang menceritakan bahwa kebanyakan manusia itu :

(أَكْثَرَ النَّاسِ لاَ يَشْكُرُونَ) “Kebanyakan manusia tidak bersyukur.” (QS.al-Baqarah:243)
(أَكْثَرَ النَّاسِ لاَ يَعْلَمُونَ) “Kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (QS.al-A’raf:187)
(أَكْثَرَ النَّاسِ لاَ يُؤْمِنُونَ) “Kebanyakan manusia tidak beriman.” (QS.Huud:17)


Dan jika kita mencari kalimat (أَكْثَرُهُمُ) “Kebanyakan dari mereka..” dalam Al-Qur’an, maka akan kita temukan bahwa kebanyakan dari mereka itu :

(أَكْثَرُهُمُ الْفَاسِقُونَ) “Kebanyakan mereka adalah orang-orang fasik.” (QS.Ali Imran:110)
(أَكْثَرُهُمْ لاَ يَعْقِلُونَ) “Kebanyakan mereka tidak berakal.” (QS.al-Ma’idah:103)
(أَكْثَرَهُمْ يَجْهَلُونَ) “Kebanyakan mereka bodoh.” (QS.al-An’am:111)
(أَكْثَرُهُمُ الْكَافِرُونَ) “Kebanyakan mereka adalah orang yang ingkar kepada Allah.” (QS.an-Nahl:83)
(أَكْثَرُهُمْ لَا يَعْلَمُونَ الْحَقَّ فَهُم مُّعْرِضُونَ) “Kebanyakan mereka tidak mengetahui yang hak (kebenaran), karena itu mereka berpaling.” (QS.al-Anbiya’:24)


Maka jadikan diri kita termasuk golongan yang sedikit, yang disebut oleh Allah swt dalam firman-Nya :

(وَقَلِيلٌ مِّنْ عِبَادِيَ الشَّكُورُ) “Dan sedikit sekali dari hamba-hamba-Ku yang bersyukur.” (QS.Saba’:13)
(وَمَا آمَنَ مَعَهُ إِلاَّ قَلِيلٌ) “Ternyata orang-orang beriman yang bersamanya hanya sedikit.” (QS.Huud:40)
(ثُلَّةٌ مِّنَ الْأَوَّلِينَ – وَقَلِيلٌ مِّنَ الْآخِرِينَ) “banyak dari orang-orang yang terdahulu dan sedikit dari orang-orang yang kemudian.” (QS.al-Waqi’ah:13-14)


Semoga Allah menjadikan kita termasuk golongan orang-orang yang sedikit, yang selamat dan beruntung di sisi-Nya.
Bukti yang jelas Allah Melarang Ikut Kebanyakan Manusia..........👇
"Dan jika engkau menurut kebanyakan orang yang ada di muka bumi, nescaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah; tiadalah yang mereka turut melainkan sangkaan semata-mata, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta". (Surah al-An’am: 116)

Mereka tidak lain hanya "berperangsangka sahaja".......sangkaan mereka itu sebenar nya SALAH...
Semoga Allah menjadikan kita termasuk golongan orang-orang yang sedikit, yang selamat dan beruntung di sisi-Nya

Tuesday, January 31, 2017

SIAPAKAH AL-GHURABA?

Siapakah al-Ghuraba’?
Mohd. Hairi Nochi

Dalam sebuah hadis yang dikeluarkan oleh Imam Muslim, no. 145, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: 
Islam awalnya asing dan kelak akan kembali menjadi asing sebagaimana awalnya maka beruntunglah bagi al-Ghuraba' (orang-orang yang asing).

Hadis di atas menjelaskan kepada kita umat Islam mengenai perkhabaran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berhubung dengan sifat keasingan agama Islam sejak ia mula-mula didakwahkan oleh baginda shallallahu ‘alaihi wasallam kepada umat manusia. 

Dalam hadis yang sama juga, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam turut mengingatkan bahawa sifat ‘keasingan’ agama ini pasti akan kembali berulang di akhir zaman sebagaimana ketika awalnya ia disampai dan diamalkan oleh baginda dan para sahabatnya radhiallahu‘anhum

Seiring dengan perkhabaran mengenai sifat keasingan ajaran Islam ini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga menerangkan bahawa di sebalik keasingan itu akan wujud sekelompok manusia dari kalangan umatnya yang digelar sebagai al-Ghuraba' disebabkan kelainan pada manhaj atau cara mereka mengamalkan ajaran agama berbanding kebanyakan manusia lainnya. Terhadap mereka ini dikurniakan nikmat kebahagiaan sebagaimana yang dijanjikan oleh baginda shallallahu ‘alaihi wasallam menerusi hadisnya tersebut. 

Siapakah golongan al-Ghuraba' ini dan apakah ciri-ciri mereka? Bagi menjawab persoalan ini, ikutilah huraian selanjutnya.

¯ Siapakah al-Ghuraba'?
'Abdullah bin 'Amr al-'Ash radhiallahu‘anhu meriwayatkan bahawa pada suatu ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah ditanya mengenai makna al-Ghuraba', baginda shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab dengan sabdanya:[1]
Orang-orang soleh yang berada di tengah banyaknya orang-orang yang buruk, orang yang menderhakai (menentang) mereka lebih banyak daripada mentaati mereka.

Sementara itu, dalam riwayat yang lain Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menyebut:[2]
Iaitu orang-orang yang sentiasa memperbaiki (umat) di tengah-tengah rosaknya manusia.

Dalam lafaz yang lain disebutkan:[3]
Iaitu orang-orang yang memperbaiki sunnahku selepas peninggalanku sesudah dirosakkan oleh manusia.

Ringkasnya, sesiapa jua di kalangan umat Islam yang berpegang teguh kepada al-Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang sahih sebagaimana asalnya, mempertahankan ketulenan ajarannya daripada dicemari oleh pelbagai unsur bid’ah serta berusaha mendakwahkannya kepada umat manusia maka dia termasuk dalam kalangan al-Ghuraba'sepertimana yang dimaksudkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menerusi hadisnya di atas.

¯ Mengapakah dikatakan asing?
Setelah kita mengetahui ciri-ciri umum mereka yang digelar sebagai al-Ghuraba’, maka persoalan kedua menyusul; mengapakah mereka yang berpegang teguh kepada al-Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ini dianggap sebagai golongan yang ‘asing’? Dalam menjawab persoalan ini, al-Imam Ibnu al-Qayyim al-Jauziyyah rahimahullah (751H) menulis di dalam kitabnya, Madarijus Salikin, jilid. 3, ms. 198-200:[4]

Pahala yang sangat agung ini (iaitu kurniaan 50 pahala para sahabat)[5] adalah kerana dia terasing di tengah kelompok manusia lainnya, juga kerana tegar di atas al-Sunnah Rasulullah di tengah kegelapan hawa nafsu dan fikiran sesat mereka. 

Jika ada seorang mukmin yang telah diberi anugerah oleh Allah untuk dapat memahami agamanya, juga memahami Sunnah Rasul-Nya, mendalami kitab-Nya serta diberi petunjuk tentang hawa nafsu, bid’ah, kesesatan dan berpalingnya orang lain dari jalan lurus yang  pernah dijalani oleh Rasulullah dan para sahabat.

Maka, jika orang seperti ini ingin menempuh jalan ini, hendaklah dia bersiap untuk menjadi tempat celaan dan cemuhan orang-orang bodoh dan Ahl al-Bid’ah, serta akan menjadi bahan olok-olok dan cacian, serta orang-orang akan diperingatkan agar jangan dekat-dekat dengannya sebagaimana yang dilakukan oleh orang-orang kafir terhadap orang-orang yang mengikuti Rasulullah.

Jika ia tetap mengajak mereka untuk menuju kepada al-Sunnah Rasulullah dan mencela perbuatan mereka, maka akan bangkitlah kesumat mereka. Mereka akan mencari orang yang akan mampu membinasakannya, segera memasang jaring perangkap, segera menaiki kuda dan memacunya untuk menghalanginya.

Orang ini (Ahl al-Sunnah), seorang asing dalam agamanya, kerana rosaknya agama mereka, asing dalam tegar di atas sunnah kerana mereka kukuh di atas bid’ah, asing dalam solatnya kerana buruknya solat mereka, asing cara hidupnya kerana sesat dan salahnya cara hidup mereka, asing nisbahnya kerana tidak sama dengan nisbah mereka, asing saat bergaul dengan mereka kerana dia bergaul dengan mereka dengan sesuatu yang tidak mereka gemari.

Perhatikanlah! Dia asing dalam semua urusan dunia dan akhiratnya, tidak ada yang mahu membantu dan menolongnya, seorang ‘alim di tengah komuniti orang-orang bodoh, seorang yang tegar di atas sunnah di tengah-tengah para Ahl al-Bid’ah. Orang yang mengajak kepada agama Allah dan Rasul-Nya di tengah para penyeru kepada hawa nafsu dan bid’ah, orang yang memerintahkan segala yang makruf dan mencegah dari yang mungkar. 

Berdasarkan kepada keterangan beberapa buah hadis di atas dan huraian al-Imam Ibnu al-Qayyim rahimahullah yang mengikutinya, maka dapatlah disimpulkan bahawa:

Pertama:
Islam dan ajarannya adalah suatu yang bersifat ‘asing’ di sisi kehidupan majoriti umat manusia dan sifat ini sentiasa kekal di sepanjang zaman. Dengan sifat keasingannya ini menjadikan setiap orang yang berpegang teguh kepada ajarannya yang tulen akan menjadi golongan terasing dan tersisih daripada manusia lainnya yang ingkar terhadap ajaran yang dibawa oleh agama Islam. 

Dalam hal ini, ‘Abdullah bin Mas’ud radhiallahu’anhu pernah berkata:[6]
Bagaimana sikapmu apabila kamu telah dilanda oleh suatu fitnah (bid’ah) terus-menerus sehingga orang-orang dewasa mencapai usia tua dan anak kecil mencapai usia dewasa dalam suasana seperti itu dan masyarakat telah menganggap fitnah itu sebagai suatu amalan sunnah sehingga apabila fitnah itu diingkari (ditentang), mereka berkata: Amalan sunnah telah diubah (ditentang). 

Dikatakanlah kepadanya (Abdullah bin Mas’ud radhiallahu’anh): Bilakah yang demikian itu akan berlaku wahai Abu ‘Abdirrahman? Beliau menjawab:  

Bila ahli qira’at (pembaca al-Qur’an) kamu telah banyak, sedangkan ahli fiqih (orang yang faham) dari (kalangan) kamu hanya sedikit, harta kamu telah melimpah dan orang-orang yang memiliki rasa amanah jumlahnya jarang ditemui dan apabila kehidupan dunia dicapai dengan (perantaraan) amalan akhirat.

Penjelasan ‘Abdullah bin Mas’ud radhiallahu’anhu menerusi atsar di atas bahawa sunnah akan mendapat tentangan adalah tidak lain kerana sifat ‘keasingan’ sunnah itu sendiri yang dilihat berbeza dengan kebiasaan atau tradisi beragama kebanyakan umat manusia. 

Justeru, sesiapa sahaja di dunia ini yang berpegang teguh kepada ajaran Islam sebagaimana asalnya pasti akan disisihkan oleh sebahagian besar umat manusia sebagaimana terang Yunus bin Ubaid menerusi kata-katanya berikut:[7]
Seorang yang disampaikan kepadanya al-Sunnah kemudian menerimanya akhirnya menjadi orang yang asing. Namun lebih asing lagi adalah yang menyampaikannya.

Kedua:        
Mereka yang berpegang teguh kepada sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang sahih bukan sahaja disisihkan oleh masyarakat dimana mereka berada akan tetapi mereka juga akan sentiasa dihujani dengan pelbagai cacian daripada para penentang al-Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.

Walau bagaimanapun, perkara ini bukanlah suatu yang asing dalam lembaran sejarah perjuangan menegakkan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, malah perkara yang sama juga pernah dialami oleh baginda shallallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabatnya radhiallahu’anhum.

Syeikh Abu ‘Uthman Ismail bin Abdul ar-Rahman ash-Shabuni rahimahullah menjelaskan kenyataan ini:[8]

Saya katakan bahawa saya telah melihat Ah al-Bid’ah yang menggelari Ahl al-Sunnah dengan gelaran-gelaran (yang negatif) ini, sedangkan Ahl al-Sunnah tidak terdapat pada mereka suatu pun ciri-ciri daripada apa yang mereka gelarkan itu. Ini sebagai kemuliaan dan kurniaan daripada Allah kepada Ahl al-Sunnah. Sebenarnya Ahl al-Bid’ah telah melalui jalan-jalan orang-orang musyrik – semoga Allah melaknat mereka – terhadap apa yang mereka lakukan terhadap Rasulullah.

Sesungguhnya mereka telah menggelari Rasulullah dengan pelbagai gelaran (yang buruk). Sesetengah mereka menamakannya sebagai tukang sihir. Ada pula yang menamakannya sebagai tukang tilik. Sebahagian lainnya pula menamakannya sebagai ahli syair, orang gila, tukang fitnah, pendusta yang suka membuat cerita-cerita dongeng. Sedangkan Nabi berlepas diri dan jauh daripada keaiban-keaiban itu. 

Baginda tidak lain hanya sebagai pesuruh yang dipilih oleh Allah dan sebagai Nabi-Nya. Allah berfirman (dalam surah al-Furqan, ayat 9 yang bermaksud):  Perhatikanlah! Bagaimana mereka membuat perbandingan-perbandingan tentang  kamu, lalu sesatlah mereka. Mereka tidak sanggup (mendapatkan) jalan untuk menentang kerasulanmu.

Sungguhpun demikian, harus diingat bahawa ‘kehinaan’ yang menimpa Ahl al-Sunnah ini hanyalah berdasarkan sudut pandang para penentang al-Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam itu sendiri, namun di sisi Allah dan Rasul-Nya, mereka tetap dipandang sebagai kaum yang mulia. 

Bagi mereka pahala yang besar dan keredaan Allah ke atas mereka, sebagai balasan di atas keteguhan mereka berpegang kepada al-Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam di zaman yang penuh dengan pencemaran pelbagai fitnah bid’ah dan maksiat ini

Sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:[9]
Akan selalu ada segolongan dari umatku yang sentiasa taat menjalankan perintah Allah. Tidak akan membahayakan mereka orang yang menghina atau menyelisihi mereka sehingga datang keputusan Allah dan mereka tetap dalam keadaan seperti itu.  

Dalam lafaz yang lain yang diriwayatkan oleh Muslim, no. 1920 disebut:
Ada satu golongan dari umatku yang akan selalu berada di atas kebenaran. Tidak akan membahayakan mereka orang yang menghinakan mereka sehingga datang keputusan Allah sedangkan mereka tetap dalam keadaan seperti itu.

Juga dalam hadisnya yang lain:[10]
Sesungguhnya di belakang kamu ada hari-hari dimana orang yang sabar ketika itu seperti memegang bara api. Mereka yang mengamalkan sunnah pada hari itu akan mendapatkan lima puluh kali dari kamu yang mengamalkan amalan (sunnah) tersebut. Para sahabat bertanya: Mendapatkan lima puluh kali dari kita atau dari mereka? Rasulullah menjawab: Bahkan lima puluh kali pahala kamu.

¯ Asing dan minoriti tidak semestinya sesat.
Kita sering mendengar ungkapan sebahagian orang yang mengatakan bahawa jika sesuatu amalan itu dilakukan oleh golongan yang sedikit (minoriti) dan terasing dalam masyarakat maka ia adalah suatu yang sesat atau salah di sisi ajaran agama. Walau bagaimanapun andaian ini adalah tidak benar. 

Malah ia dilihat bercanggah dengan banyak ayat al-Qur’an yang menegaskan bahawa benar atau tidak sesuatu perkara itu bukanlah diukur dengan jumlah pendukung atau penganutnya, tetapi ialah sejauh mana ia berpijak di atas landasan kebenaran yang berpaksi kepada petunjuk al-Qur’an dan al-Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang sahih.
Perhatikan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam surah al-An’am, ayat 116 berikut: 

Dan jika engkau mengikuti kebanyakan orang yang berada di muka bumi nescaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Tiada yang mereka turuti melainkan sangkaan semata-mata dan mereka tidak lain hanyalah berdusta.

Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala yang mulia di atas menunjukkan kepada kita bahawa faktor kuantiti bukanlah garis penentu bagi melayakkan sesuatu itu dianggap sebagai benar di sisi ajaran Islam. 

Berdasarkan kepada prinsip ini, maka para ulama Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah mewasiatkan umat Islam agar hendaklah mereka sentiasa berpegang teguh kepada ajaran al-Quran dan al-Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang sahihsekali pun ia pada pandangan kebanyakan masyarakat adalah sesuatu yang ganjil lagi terasing. 

 Syeikh Soleh bin Fauzan al-Fauzan menegaskan di dalam kitabnya, Syarh Masa-il Jahiliyah:[11]

Nilai ukur kebenaran itu bukan kerana jumlah pengikut yang besar, tetapi nilai ukurnya adalah kebenaran atau kebatilan yang menyertainya. Setiap yang benar walaupun pengikutnya sedikit, maka harus digenggam kuat. Itulah jalan keselamatan. Semua kebatilan tidak boleh berubah menjadi benar hanya kerana jumlah pengikutnya yang banyak. Nabi bersabda (maksudnya): Sesungguhnya Islam itu muncul sebagai agama yang asing (sedikit pengikutnya) dan suatu ketika akan kembali asing sebagaimana pertama kali muncul

Dalam hal ini, al-Imam al-Hasan al-Basri rahimahullah pernah mengingatkan bahawa:[12]
Sesungguhnya Ahl al-Sunnah mereka adalah manusia yang sedikit jumlahnya pada zaman-zaman yang telah lalu dan mereka juga sedikit jumlahnya pada masa yang akan datang. Mereka ialah orang-orang yang tidak pergi bersama-sama dengan golongan yang mewah dalam kemewahan mereka. Dan tidak pula pergi bersama-sama dengan Ahl al-Bid’ah dalam melakukan bid’ah-bid’ah mereka. Mereka tetap bersabar di atas sunnah mereka sehinggalah mereka menemui Tuhan mereka. maka begitulah keadaan Ahl al-SunnahInsya-Allah. Maka hendaklah kamu seperti mereka. 

Senafas dengan wasiat al-Imam Abu al-Hasan al-Bashri rahimahullah di atas ialah kenyataan Sufyan ats-Tsauri rahimahullah, beliau mewasiatkan:[13]
Aku wasiatkan kamu untuk berpegang teguh kepada Ahl al-Sunnah dengan baik kerana mereka adalah al-Ghuraba’. Alangkah sedikitnya Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah

Semoga dengan wasiat dan peringatan yang disampaikan oleh para tokoh Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah di atas ini akan menjadikan sumber kekuatan kepada kita semua untuk terus konsisten dalam berpegang teguh kepada ajaran al-Qur’an dan al-Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang sahih. 

Semoga dengan berpegang teguhnya kita kepada kedua-dua petunjuk agung ini akan meletakkan kita dalam golongan al-Ghuraba’ yang pastinya akan mendapat ganjaran berupa nikmat kebahagiaan daripada Allah Subhanahu wa Ta’alaInsya’ Allah.




[1]  Hadis riwayat Ahmad dalam Musnadnya dan disahihkan oleh Syeikh Ahmad Syakir dalam tahqiq Musnad Imam Ahmad, no. 6650.
[2] Lihat Silsilah al-Ahadith al-Shahihah, no. 1273.
[3] Hadis riwayat at-Tirmidzi, no. 2630 dan beliau menjelaskan bahawa hadis ini adalah hasan sahih.
[4] Lihat Tegar di Atas Sunnah Ibarat Menggenggam Bara Api, susunan Tim Media Tarbiyah, ms. 151-153.
[5] Hadis yang menerangkan ganjaran sebanyak 50 kali ganda pahala para sahabat kepada mereka yang berpegang teguh kepada Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ini akan dikemukakan dalam huraian selanjutnya.
[6]  Lihat Riwayat ad-Darimi 1/75, no. 185, Ibnu Abi Syaibah 7/452, no. 37156 dan al-Hakim 4/560, no. 8570.
[7]  Riwayat al-Lalika’i 1/64 dan Ibnu Baththah dalam al-Ibanah 1/185, no. 20. 
[8]  Lihat al-Risalah fii I’tiqad Ahl al-Sunnah wa Ash-haab al-Hadith wa al-Aimmah au Aqidah al-Salaf Ash-haab al-Hadith karya Syeikh Abu ‘Uthman Ismail bin ‘Abdur Rahman al-Shabuni, ms. 142-143
[9]  Hadis riwayat al-Bukhari, no. 3641 dan Muslim, no. 1037.
[10] Hadis riwayat al-Hakim dan lainnya. Beliau menganggap hadis ini sebagai sahih dan disepakati oleh adz-Dzahabi.
[11] Lihat buku penulis, Cukupkah Sekadar Niat?,  ms. 165.
[12] Lihat Membela Sunnah Nabawiyah karya Ustaz Abdul Wahab Bustami, ms. 129.
[13] Riwayat al-Lalika’i dalam Syarh I’tiqad Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah 1/63.